Bocoran SDY — Ketegangan memuncak di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan. Puluhan warga Kampung Curug Serpong mendatangi kantor pengelola TPA, menuntut penutupan lokasi setelah longsoran sampah memicu banjir air lindi yang merendam permukiman mereka. Aksi ini menandai babak baru dari polemik pengelolaan sampah yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Longsoran sampah tidak hanya menutup aliran anak Kali Cirompang, tetapi juga mengakibatkan luapan lindi—cairan sampah yang sangat berbahaya—masuk ke rumah-rumah warga. Genangan setinggi lutut ini menghentikan aktivitas sehari-hari dan merusak sumber penghidupan.
“Kami menuntut tutup pembuangan sampah. Sudah bertahun-tahun begini saja, tidak ada perubahan,” tegas Dulrohman, salah seorang warga yang frustasi.
Dalam aksinya, warga menyodorkan enam poin tuntutan konkret: penutupan TPA, normalisasi saluran air, penataan sampah di dekat pemukiman, penyediaan alat berat, penanganan lindi dan bau, serta kompensasi kesehatan dan ekonomi bagi warga terdampak.
Dialog yang Memanas dan Tuntutan yang Ditandatangani
Suasana dalam ruang dialog dengan pejabat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangsel sempat memanas. Seorang pegawai DLH dinilai warga bersikap tidak sopan, memicu bentakan dan gebrakan meja. Situasi baru mereda setelah Kepala UPTD Cipeucang meminta pegawai tersebut meninggalkan ruangan, dan seluruh pejabat yang hadir akhirnya bersedia menandatangani surat tuntutan warga.
Kerugian Nyata di Lapangan: Usaha Terendam, Penghidupan Terancam
Dampaknya sangat terasa bagi pelaku usaha kecil. Kristianto, seorang perajin tempe dengan 11 tahun pengalaman, terpaksa menghentikan produksi. Lokasi usahanya rusak terendam lindi, menyebabkan kerugian yang ia perkirakan mencapai puluhan juta rupiah.
“Ini bentuk kelalaian pengelola. Bisa dibilang, ini bukan dinas lingkungan hidup, tapi dinas lingkungan mati,” ujar Kristianto dengan nada kecewa. Ia kini harus menumpang di rumah keluarga sambil menanti kompensasi yang tidak kunjung jelas.
Warga lain, Agus (60), dengan tegas menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah tindakan darurat, bukan wacana. “Keruk dulu longsoran sampahnya. Biar aliran air lancar. Rumah kami kebanjiran lindi setiap hujan,” pintanya.
Respons Pemerintah: Rencana Ekspansi vs Tuntutan Darurat Warga
Di tengah desakan penutupan, respons pemerintah justru terkesan bertolak belakang. Pemkot Tangerang Selatan dikabarkan menyiapkan anggaran hingga Rp50 miliar pada APBD 2026 untuk pembebasan lahan guna memperluas area landfill TPA Cipeucang.
“Dalam waktu dekat, lahan seluas empat ribu meter akan dibebaskan. Sisanya menyusul tahun depan,” jelas Sekretaris DLH Tangsel, Hadi Widodo.
Rencana jangka panjang ini sama sekali tidak meredakan kepanikan warga. Mereka menunjukkan kondisi darurat di lapangan: gunungan sampah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah, aliran sungai yang tersumbat total, dan sumur-sumur yang telah tercemar.
“Tuh Pak, rumah saya sudah dikelilingi air lindi. Ini bahaya buat anak-anak,” kata Utih, warga yang terpaksa mengosongkan rumahnya.
Kompensasi yang selama ini diberikan—sebesar Rp250 ribu per KK per tahun—dinilai warga sebagai bentuk pengabaian. “Buat beli air galon saja tidak cukup, Pak!” protes seorang warga dalam dialog.
Ultimatum Terakhir: Dari TPA ke Balai Kota
Pertemuan diakhiri dengan penandatanganan tuntutan, namun warga memberikan batas waktu. Mereka mengancam akan membawa protes ke tingkat yang lebih tinggi jika tidak ada langkah nyata.
“Kalau tidak ada hasil, kita akan berkemah di Pusat Pemerintahan Kota (Puspemkot),” ucap Dulrohman memberi ultimatum.
Polemik TPA Cipeucang kini berada di titik kritis. Di satu sisi, warga menuntut solusi segera untuk darurat ekologi dan ekonomi yang mereka hadapi. Di sisi lain, pemerintah tampak masih berkutat dengan rencana teknis dan anggaran jangka panjang. Aksi ini menjadi pengingat keras tentang biaya sosial dan lingkungan dari sistem pengelolaan sampah yang dianggap gagal.