TVTOGEL — Satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjukkan pola kerja yang semakin jelas. Duet ini tampak membagi fokus: Prabowo aktif di panggung internasional, sementara Gibran lebih banyak turun langsung ke daerah-daerah dalam negeri.
Perjalanan mereka selama setahun terakhir menjadi cermin dari strategi kepemimpinan dua arah—Prabowo memperkuat diplomasi global Indonesia, sedangkan Gibran memperkuat hubungan sosial dan implementasi program di lapangan.
Gaya Kepemimpinan yang Berbeda: Prabowo di Luar Negeri, Gibran di Dalam Negeri
Sejak dilantik pada Oktober 2024, Prabowo menunjukkan ritme kunjungan luar negeri yang padat. Dalam tahun pertamanya, ia mencatat 36 kali kunjungan ke 24 negara, melampaui rekor presiden sebelumnya. Tujuannya jelas: memperkuat posisi Indonesia di arena geopolitik dunia.
Sementara itu, Gibran justru aktif mengunjungi daerah-daerah di Indonesia. Dalam periode yang sama, ia menjalankan 183 kegiatan dan mengunjungi 25 provinsi. Aktivitasnya mencakup kunjungan sosial, pengawasan program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Cek Kesehatan Gratis (CKG), hingga menghadiri berbagai acara seremonial.
Langkah ini membuat Gibran menjadi wajah publik pemerintahan di lapangan, sementara Prabowo berperan sebagai representasi negara di tingkat global.
Data Setahun Kunjungan Prabowo-Gibran
Penelusuran berbasis media monitoring selama periode 20 Oktober 2024 hingga 20 Oktober 2025 menunjukkan pola yang menarik.
- Prabowo Subianto: 86 kegiatan domestik dan 36 kunjungan luar negeri
- Gibran Rakabuming Raka: 183 kunjungan daerah dan 1 kunjungan luar negeri
Aktivitas Gibran terlihat meningkat pesat sejak awal menjabat. Hanya sehari setelah pelantikan, ia langsung meninjau proyek MRT Jakarta, kemudian bertolak ke Magelang untuk menghadiri kegiatan bersama Presiden di Akademi Militer.
Di sisi lain, Prabowo memulai kunjungan dalam negeri ke Papua Selatan pada November 2024, meninjau proyek ketahanan pangan di Merauke. Aktivitasnya kemudian meningkat antara Februari hingga Juni 2025—periode peluncuran program strategis pemerintah di bidang pangan, energi, dan pertahanan.
Pembagian Peran: Simbol Negara dan Wajah Publik
Secara garis besar, pembagian kerja Prabowo dan Gibran menciptakan keseimbangan simbolik. Prabowo tampil sebagai figur strategis dan institusional, sementara Gibran berfungsi sebagai mobilisator publik.
Dalam riset yang dikategorikan oleh Tirto, kegiatan keduanya dibagi ke dalam empat kategori utama:
- Sosial – seperti penanganan bencana dan pembagian bantuan.
- Seremonial – kegiatan peresmian, rapat, dan acara publik.
- Program Pemerintah – implementasi MBG, CKG, dan kurikulum AI.
- Pendampingan Presiden – khusus untuk kegiatan di mana Gibran mendampingi Prabowo.
Hasilnya, Gibran unggul dalam frekuensi kunjungan sosial dan program publik. Sementara Prabowo lebih fokus pada agenda strategis kenegaraan dan diplomatik.
Pandangan Para Analis: Strategi Politik dan Citra Publik
Menurut Usep S. Ahyar, analis politik dari Populi Center, tingginya aktivitas Gibran di daerah adalah strategi yang terukur. Kehadiran fisik di tengah masyarakat dinilai penting untuk membangun legitimasi sosial dan politik.
“Dengan sering turun ke lapangan, Gibran membangun kedekatan simbolik sekaligus memperkuat kepercayaan publik,” ujarnya.
Namun, Usep juga mengingatkan bahwa pembagian kerja ini berpotensi menimbulkan citra kontras. Prabowo akan tampak sebagai negarawan berwibawa, sementara Gibran sebagai figur muda yang dekat dengan rakyat. Jika hubungan keduanya harmonis, maka sinergi ini bisa memperkuat citra pemerintahan. Tetapi jika tidak, bisa memunculkan potensi rivalitas politik ke depan.
Fokus Diplomasi Global Prabowo
Dalam konteks internasional, Prabowo Subianto tampil agresif memperluas jangkauan diplomatik Indonesia. Tahun pertamanya mencatat rekor lawatan terbanyak di antara presiden sebelumnya.
Kunjungan perdana ke Beijing menandai penguatan hubungan strategis dengan Tiongkok, disusul dengan diplomasi ke Amerika Serikat untuk menjaga keseimbangan di antara dua kekuatan global.
Langkah penting lainnya terjadi pada 6 Januari 2025, saat Indonesia resmi bergabung dengan BRICS—blok ekonomi beranggotakan Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Keputusan ini menandai ambisi pemerintah memperluas pengaruh ekonomi Indonesia di panggung dunia.
Dosen Hubungan Internasional Unpar, Ignasius Loyola Adhi Bhaskara (Aska), menilai arah kebijakan luar negeri Prabowo menunjukkan pergeseran dari era Jokowi yang lebih berorientasi domestik menjadi outward-looking diplomacy.
“Prabowo ingin menempatkan Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang di tengah rivalitas AS dan Cina,” jelas Aska.
Gibran di Dalam Negeri: Aktivis Sosial Pemerintahan
Berbeda dengan Prabowo, aktivitas luar negeri Gibran hanya tercatat satu kali, yakni kunjungan ke Papua Nugini pada September 2025. Selebihnya, ia berfokus pada agenda domestik—mulai dari kunjungan sosial, pengawasan program bantuan, hingga menghadiri kegiatan kemasyarakatan.
Menurut analis dari Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, strategi Gibran ini merupakan investasi politik jangka panjang. Dengan rajin hadir di tengah masyarakat, Gibran memperkuat citra sebagai pemimpin muda yang aktif dan responsif.
Namun Musfi juga menyoroti munculnya resistensi publik terhadap gaya “blusukan” seperti era Jokowi. “Ada trauma politik dari fenomena Jokowi. Publik kini lebih kritis, jadi figur yang sering turun ke lapangan belum tentu otomatis mendapat simpati,” ujarnya.
Kesimpulan: Dua Arah, Satu Tujuan
Selama setahun memimpin, duet Prabowo-Gibran menunjukkan pembagian peran yang saling melengkapi.
- Prabowo membangun posisi Indonesia di level internasional dan memperkuat diplomasi global.
- Gibran memastikan implementasi program prioritas pemerintah berjalan hingga ke tingkat daerah.
Keduanya menghadirkan wajah baru dalam sistem kepemimpinan nasional: presiden sebagai simbol kekuatan negara di dunia, dan wakil presiden sebagai jembatan antara pemerintah pusat dan rakyat di lapangan.
Jika keseimbangan ini terus terjaga, duet Prabowo-Gibran bisa menjadi model kolaborasi yang kuat dalam sejarah politik Indonesia modern.